Keberadaan Tuhan dan Sains Modern (ATHEIS GIVE UP)


TUHAN DAN ALAM PART 1
Manusia secara naluriah percaya adanya Tuhan sebagai zat maha kuasa yang mengatur alam semesta (Wilson, 1978). Petir misalnya, disebabkan oleh amarah Tuhan tertentu.

Terjadinya tsunami dimaknai sebagai tindakan yang dilakukan Tuhan untuk memperingatkan umat tertentu agar tidak berbuat dosa. Bayi yang lahir dengan kondisi cacat dipandang sebagai hukuman Tuhan pada orang tuanya. Asosiasi antara gejala alam dan Tuhan sangat erat dari dahulu.
Asal usul keyakinan pada Tuhan tampaknya dari usaha menjelaskan pengalaman manusia tentang hal-hal baru dan peristiwa-peristiwa yang diluar kebiasaan alam (bencana alam misalnya). Tuhan ada sebagai pengisi celah atas hal-hal tersisih dan abnormal di alam. Jevons (1896:23) menyebutkan kalau Tuhan diawali dengan usaha menjelaskan ketidakteraturan dan kejadian yang bersifat kebetulan.
Kemunculan Tuhan untuk menjelaskan sebab-sebab fenomena fisikal ini memang tidak bersifat sakral. Max Muller (1891) berpendapat kalau tidak ada beda yang besar antara Agni, sang dewa api, dengan konsep eter yang dipakai fisikawan masanya untuk menjelaskan fenomena optika. Sakralitas baru datang ketika ide tentang Tuhan dibawa ke ranah sosial-politik.
Karena Tuhan dikonsepsikan oleh manusia dan ketika dipercaya oleh mayoritas orang dalam masyarakat, maka masuklah konsepsi Tuhan ke dalam politik. Dari sini lahirlah magi, sebuah usaha untuk menggunakan “Tuhan” untuk meraih kekuasaan (Van Peursen, 1988:50). Dengan adanya magi, manusia merasa mampu memanipulasi alam. Durkheim (1992:133) mencontohkan ritus-ritus seperti merubah arah angin, memaksa turunnya hujan, atau bahkan menghentikan gerak matahari. Dari magi inipun berkembanglah agama dimana Tuhan dan hukum disatukan untuk memberikan rasa aman dan menghubungkan manusia dengan kekuatan di luar alam. Hal ini mungkin datang dari kesadaran kalau manusia sendirian tidak mampu menghadapi alam. Mereka membutuhkan agen yang mengatasi alam tersebut. Dengan adanya agen ini, Tuhan, manusia yang beriman mampu menciptakan mukjizat. Mukjizat para nabi misalnya, pada dasarnya merupakan gambaran superioritas manusia untuk menghadapi alam yang dipandang begitu kuat. Dengan adanya personifikasi pada alam, muncul gagasan untuk menyatukan keseluruhannya ke dalam sebuah semesta. Pada gilirannya membawa pada agama-agama besar yang lebih universal dalam memandang alam dan membawa pada konsepsi monoteisme.
Seiring berjalannya waktu, orang mulai merasa tidak puas dengan penjelasan Tuhan, apalagi bila penjelasan tersebut erat kaitannya dengan kekuasaan. Suatu gejala alam tampaknya terjadi begitu saja dan selalu begitu. Sebagai contoh, Aristoteles bicara kalau batu selalu jatuh ke bawah ketika dilempar. Ada sebuah aturan yang tidak dapat dilanggar walau bagaimanapun di alam ini. Dengan asumsi yang disebut determinisme ini, orang mulai mencari penjelasan hukum atau mekanisme alam, sebuah penjelasan yang tidak lagi memerlukan agen Tuhan sebagai penyebab peristiwa alam tersebut terjadi. Hal ini diperkuat lagi mengenai isu keadilan dan kejahatan yang muncul dari para pemikir ketika dihadapkan dengan argumen sebab Tuhan.

PART 2 HAKIKAT SAINS

Menurut Einstein, sains adalah usaha membuat keanekaragaman yang kacau dalam pengalaman inderawi kita menjadi sebuah sistem pemikiran yang seragam secara logis (Einstein, 1954). Definisi ini membatasi sains ke dalam dua batasan: pertama, ia harus bersangkut paut dengan pengalaman inderawi. Kedua, ia harus membentuk sistem pemikiran yang konsisten. Batasan pertama sering disebut empiris dan batasan kedua disebut teoritis. Inilah dua pilar utama sains. Kedua pilar ini kemudian dibangun atas landasan yang tersirat dalam definisi Einstein di atas, yaitu logika.
Logika adalah asas kelurusan berpikir (Sudarminta, 2002: 40). Pengalaman inderawi dan sistem pemikiran yang menyusun sains berinteraksi dengan perangkat kelurusan berpikir ini. Ada tiga cara bagaimana dua unsur sains tersebut berinteraksi yaitu cara deduktif, induktif, dan abduktif. Bernalar deduktif menarik kesimpulan dari sebuah pernyataan atau hukum umum. Bernalar induktif adalah menarik kesimpulan dari beberapa pernyataan atau kejadian khusus yang mirip. Bernalar abduktif adalah menarik kesimpulan dari sebuah dugaan yang kebenarannya masih harus diuji coba. Dengan ketiga bentuk bernalar ini, beserta logika, maka sainspun berkembang.
Pada perkembangannya, sains memiliki tujuan ekstrinsik dan tujuan intrinsik (Nola dan Irzik, 2005:189). Tujuan ekstrinsik adalah tujuan demi kepentingan manusia itu sendiri entah untuk berperang atau menciptakan perdamaian. Tujuan ekstrinsik terikat pada siapa ilmuan yang mengerjakan sains itu. Sama halnya dengan pisau, tujuan ekstrinsiknya adalah memotong sayur atau menikam manusia, tergantung siapa penggunanya.
Tujuan intrinsik adalah tujuan sains untuk sains itu sendiri. Ini adalah sesuatu yang ideal dan dapat diringkas sebagai menjaga kehidupan sains itu sendiri. Tujuan ini antara lain: (1) keterujian, (2) Memperoleh kebenaran dan menghindari kesalahan, (3) Prediksi, dan (4) kemajuan.
Keterujian (testability) merujuk pada kemampuan sains untuk menguji pernyataan. Hal ini dapat ditarik dari pandangan falsifikasi yang diajukan oleh filsuf Karl Popper. Menurutnya, “karakteristik pembeda dari pernyataan empiris (adalah) kerentanannya pada revisi – faktanya ia dapat dikritik dan diganti oleh yang lebih baik” (Popper, 1959:49). Sains hanya berurusan dengan pernyataan empiris, yaitu pernyataan yang hanya dapat difalsifikasi. Sebuah pernyataan yang tidak dapat dikritik bukanlah pernyataan ilmiah dan bukan urusan dari sains. Dengan kata lain, sebuah teori yang tidak dapat diuji benar-salahnya bukanlah teori yang ilmiah. Agar dapat diuji, sebuah teori harus berkaitan dengan dunia nyata dan harus bersifat objektif. Hal ini sejalan juga dengan pendapat filsuf Quine dan Ullian (1978:79) yang disebut ketertolakan. Ketertolakan berarti sebuah pernyataan harus dapat ditolak oleh suatu pernyataan jika pernyataan penolak tersebut benar.
Sifat keterujian ini menjadikan sebuah makalah penelitian sains berbeda dengan makalah bidang ilmu lainnya. Sebuah makalah penelitian sains mengandung bagian ‘metode’ (Gorsuch, 2002). Bagian metode ini merupakan bagian wajib dan menjadi inti dari sebuah karya ilmiah sains. Bagian metode memungkinkan orang lain meniru bagaimana penelitian dilakukan dan mengkonfirmasi kebenarannya. Ketika sebuah metode menemukan hasil dan para ilmuan lainnya, menggunakan metode yang sama, menemukan hasil yang sama, maka ia menjadi fakta.
Tujuan kedua, yaitu memperoleh kebenaran dan menghindari kesalahan adalah sebuah tujuan berpasangan. Memperoleh kebenaran dan menghindari kesalahan merupakan tujuan yang ideal. Pada prakteknya, tujuan sains adalah memaksimalkan jumlah kebenaran yang didapatkan dan meminimalkan jumlah kesalahan yang diperoleh. Hal ini berkaitan dengan teori sebagai senjata sains. Sebuah teori terdiri dari beberapa pernyataan, sebagian empiris dan sebagian tidak. Jika sebuah teori memiliki proposisi yang seluruhnya empiris dan benarpun, ia tidak dipandang sebagai benar mewakili realitas. Mungkin ada sebuah teori lain yang memiliki proposisi lebih banyak, semua empiris, dan semua terbukti benar. Hal ini telah terjadi pada kasus teori gerak Newton yang digantikan oleh teori relativitas Einstein.
Tujuan ketiga adalah prediksi. Prediksi merupakan tujuan tertua dari sains. Sebagai contoh, para astronom di masa Mesir Kuno tidak bicara tentang falsifikasi, tapi bicara apakah sebuah teori mampu memprediksi sesuatu. Di sisi lain, Marx dan Comte tampaknya memandang prediksi sebagai tahap final dimana ilmu melakukan prediksi dan memegang kedaulatan mutlak atas kepastian dan kebenaran (Watloly, 2001:82). Fakta yang diperoleh sebelumnya lewat metode, kemudian dimasukkan dalam teori dan teori yang telah dimasuki fakta tersebut kemudian dituntut menghasilkan prediksi. Jika teori tersebut mampu memprediksi sesuatu, katakanlah kapan terjadinya gerhana, teori tersebut dapat dipandang ilmiah. Lebih lanjut, jika prediksi teori ilmiah tersebut benar dan konsisten, maka ia dipandang sebagai teori yang benar. Beberapa teori tandingannya yang tidak mampu memprediksi hal tersebut akan diragukan. Pada gilirannya, hanya satu dua teori saja yang dipandang kokoh dan teori-teori lain yang tidak memiliki kekuatan penjelas atau terbukti salah akan dihapus. Hal ini telah ditunjukkan dalam kasus teori evolusi. Pada abad ke-19, ada tujuh versi teori evolusi (Mayr, 2001:117). Seiring waktu, hanya satu dari tujuh teori ini yang bertahan hingga sekarang yaitu teori evolusi dengan seleksi alam dari Darwin. Teori evolusi lain, seperti Lamarck, Haeckel, Neo-Lamarckian, Huxley, De Vries, dan Morgan, gugur dan tak lagi dipandang. Sains terlihat tidak menyukai pluralisme teori karena mengejar kebenaran ini. Penolakan atas pluralisme teori inipun membawa pada tujuan sains selanjutnya yaitu kemajuan.
Tujuan sains yang keempat adalah kemajuan. Sains berusaha mencapai keseluruhan. Teori-teori berkembang dari satu ranah menuju ke ranah yang lebih luas. Teori tentang bulan harus dapat diselaraskan dengan teori tentang matahari dan membentuk teori yang lebih luas tentang tata surya misalkan. Hal ini terus beranjak hingga teori mencapai puncaknya yaitu bicara tentang keseluruhan alam semesta. Dalam sains, hirarki teori dapat diperluas terus mencapai detail dan mencapai keluasan. Mulai dari ilmu sosial yang bicara tentang masyarakat manusia menuju ke psikologi yang bicara sifat manusia, terus menanjak ke biologi hingga mencakup seluruh kehidupan. Beberapa pakar mengharap suatu saat seluruh sains akan lengkap dan mencapai kemandekan dimana segalanya telah dipelajari dan diketahui (Horgan, 1997). Hal ini tergambar dengan baik dalam peta sains yang dibuat oleh Tegmark (2007).

Gambar 1: Peta Sains (diadaptasi dari Tegmark, 2007).
Dalam pijakan dasar di atas, sains hidup lewat metode ilmiah. Metode ilmiah yang digunakan di masa sekarang berangkat dari dua filsuf masa renaisans yaitu Bacon dengan bukunya Novum Organum dan Descartes dalam bukunya Discourse on the Method of Properly Conducting One’s Reason and of Seeking the Truth in the Sciences. Metode ilmiah yang dirintis oleh mereka berdua membagi proses sains ke dalam dua tahap: empiris dan statistik (Alper, 2008:15). Pada tahap empiris, manusia mengindera alam. Ia mencari pola-pola tertentu di alam seperti kesadaran kalau matahari selalu terbit dan tenggelam atau eksperimen atau pengamatan modern yang melibatkan alat bantu inderawi seperti teleskop, mikroskop, dan sebagainya. Ia mencoba membuat penjelasan atas peristiwa tersebut dan mengujinya dengan tahap kedua, yaitu tahap statistik. Tahap statistik bertujuan memeriksa apakah penjelasan yang dibuatnya itu benar atau salah dengan mengajukan sebuah prediksi yang akan diuji. Tahap statistik tidak harus diartikan sebuah uji statistik seperti yang dilakukan piranti komputasi seperti SPSS atau Excel. Sebuah pengamatan yang konsisten kalau matahari selalu terbit dan tenggelam sudah menjadi bentuk uji statistik dengan kepastian 100%. Tentu saja, sains sangat hati-hati memberikan nilai 100% ini. Dalam penelitian-penelitian modern, para ilmuan paling tinggi memberikan kepastian 99.9999….%. Sebuah prediksi dikatakan lemah jika ia hanya punya kepastian di bawah 95%.
Secara filsafat, sains bertolak belakang dengan humanisme. Sains memandang manusia hanya sebagai sebuah hal materiil (materialisme), jiwa dipandang hanya seperangkat jaringan input, indera, syaraf, dan otak. Manusia tidak dipandang superior dan terpisah dari alam, namun sebagai sesuatu komponen alam dan tidak memiliki kelebihan dari komponen alamiah lainnya. Humanisme sebaliknya, memuliakan manusia atas alam (antroposentrisme) yang pada bentuk ekstrimnya memunculkan eksistensialisme yang memuliakan individu manusia atas alam. Baik buruknya aliran filsafati ini kita serahkan pada filsafat moral.
Eratnya sains dengan materialisme karena sains berusaha menjelaskan alam semesta dengan sebab-sebab natural. Sebab-sebab natural yang dimaksud disini adalah sesuatu yang dapat diperiksa kebenarannya lewat metode yang objektif dan memenuhi tujuan-tujuan internal sains yang telah disebutkan sebelumnya. Sesuatu dapat dipandang objektif jika ia dapat didefinisikan dengan baik. Pendefinisian pada dasarnya adalah pembatasan sifat suatu konsep sehingga ia dapat diperiksa oleh berbagai pihak secara konsisten (objektif). Tuhan tidak dapat didefinisikan karena mendefinisikan Tuhan berarti membatasinya dengan seperangkat sifat. Kalaupun didefinisikan, seperti sifat-sifat tertentu yang diberikan oleh agama-agama kepada Tuhannya, tidak ada cara yang objektif untuk memilih mana Tuhan dari agama mana yang dimaksud.
PART 3 TUHAN DALAM SAINS

Dengan dikembangkannya metode ilmiah oleh Descartes dan Bacon dan penemuan-penemuan besar oleh Copernicus dan Newton, sains secara resmi berpisah dari agama. Sebelum mereka, sains tetap sejalan dengan pandangan dunia monoteistik. Sains membangun sendiri pandangan dunia yang ateistik, dalam artian tidak menyertakan Tuhan dalam pengembaraannya memahami alam (Russel, 2004:112). Dari sisi metodis oleh Descartes dan Bacon, hal ini ditujukan untuk beberapa kepentingan ideal sains : (1) keterujian, (2) Memperoleh kebenaran dan menghindari kesalahan, (3) Prediksi, dan (4) kemajuan. Dari segi empiris, Copernicus dan Newton pada dasarnya telah membangun sains dalam dua arah. Copernicus menyanggah monoteisme dengan penemuannya kalau Bumi bukanlah pusat tata surya. Newton membenarkan ateisme dengan  penjelasan yang mekanistik dimana seluruh tatanan dunia tidak lagi memerlukan Tuhan di dalamnya dan alam bekerja lewat seperangkat hukum yang tak pernah ingkar (hukum Newton). Peran keempat tokoh ini menjadi dasar lenyapnya keterikatan sains dengan agama.
Kembali pada metode ilmiah, gagasan Tuhan juga tidak sejalan dengan idealisme sains. Mari kita telusuri satu per satu. Keterujian, apakah Tuhan dapat diuji kebenarannya, ada tidaknya ia? Membawa Tuhan ke ranah empiris berarti harus mendefinisikan Tuhan. Mendefinisi Tuhan berarti membatasiNya. Para filsuf agama mungkin tidak senang. Tapi kesulitan lain muncul: pertanyaannya menjadi Tuhan yang mana? Siapkah agama-agama menjadikan Tuhannya sebagai objek ilmiah? Paksaan untuk memasukkan Tuhan dalam sains mewujud menjadi konsep Tuhan yang baru dan lebih aneh lagi yang dapat dipandang sebagai konsep sains tentang Tuhan (Russel, 2004:2). Apakah konsepsi baru mengenai Tuhan ini mau diterima oleh manusia, terutama yang menggunakan konsepsi lama mengenai Tuhan dalam agama mereka?
Prinsip memperoleh kebenaran dan menghilangkan kesalahan, bagaimana jika prinsip ini dihubungkan dengan Tuhan? Sebagian kemudian berpikir bahwa segala yang dikeluarkan oleh Tuhan adalah yang benar. Kebenaran dari Tuhan adalah kebenaran mutlak. Padahal kebenaran dalam sains adalah kebenaran relatif. Dalam prinsip dasar inilah, sains menjadi mati. Ketika sains menemukan kebenaran mutlak, ia tidak dapat maju lagi karena ciri dari kemutlakan adalah ketidak berubahan. Dengan tetap memegang pandangan kitab suci tentang Tuhan dan perannya di alam misalnya, sains akan kesulitan memastikan letak Tuhan dalam sebuah gejala alam. Ambil contoh bencana Tsunami, dimana posisi Tuhan? Apakah ia menyebabkan Tsunami? Tidak, sains menemukan kalau penyebab tsunami adalah pergeseran kerak Bumi. Apakah Tuhan yang menggeser kerak Bumi? tidak, sains menemukan kerak Bumi bergeser karena dinamika perut Bumi. Apakah dinamika perut Bumi disebabkan Tuhan? tidak, ia disebabkan pergerakan Bumi pada orbitnya dan pengaruh benda-benda sekitar Bumi di Tata Surya. Hal ini akan terus bergeser sehingga Tuhan berada di saat dimana sains tidak dapat menjelaskannya lagi. Kemampuan sains menggeser hingga ke detail dan keluasan ini membuat dirinya sukses dalam bidang teknik. Hal ini juga yang membuat Jacobs (2007:56) mengeluh kalau Tuhan tersisihkan sains dan menjadi subjek pembicaraan yang khusus dimana nilai kebenaran menjadi sulit diabsahkan. Sains tidak menyukai pluralisme teori, sementara dapat dipastikan kalau konsepsi manusia mengenai Tuhan sangat bersifat plural. Kemunculan ilmu-ilmu melenyapkan kehendak Tuhan didalamnya dan membawa Tuhan ke wilayah kata benda.
Prediksi. Apakah Tuhan dapat dimasukkan dalam komponen prediksi. Tuhan, tampaknya disepakati oleh semua pihak, memiliki ciri-ciri hidup yaitu berkehendak. Dapatkah sains memprediksi suatu gejala alam jika kehendak Tuhan dilibatkan disana? Tampaknya Tuhan tidak berkehendak apapun. Walau begitu, tetap ada usaha untuk menunjukkan kalau kitab “suci” (teks yang diyakini berasal dari Tuhan) telah melakukan prediksi melebihi jamannya. Banyak penafsiran dalam beberapa agama seperti Kristen, Islam, dan Hindu, yang mendaku kalau teks suci mereka memprediksi temuan sains di masa modern (misalnya Sudarmojo, 2006 untuk Islam dan Schroeder, 2009 untuk Kristen). Hal ini adalah kesalahan memahami sifat sains. Kitab suci bukanlah buku teori, ia memiliki proposisi-proposisi yang dapat ditafsirkan apapun tergantung pembacanya, berbeda dengan teori-teori sains. Karena itu, prediksi yang dihasilkannya pun dapat benar atau salah, bukan tergantung pada teksnya, tapi pada penafsiran orang yang membacanya. Lebih lanjut, dakuan kalau kitab suci memprediksi temuan sains modern adalah masalah penggeseran agen. Sebuah temuan “sains modern” hanya muncul ketika temuan tersebut sudah ada, bukan sebelumnya. Hal ini berkebalikan dengan sifat prediksi yang meramalkan sesuatu sebelum terjadinya. Ia adalah postdiksi, yaitu meramalkan sesuatu setelah terjadinya. Artinya, orang tinggal menghubung-hubungkan antara temuan yang sudah ada dengan tulisan yang ada ditangannya, melihat kesesuaian (atau bahkan merekayasa kesesuaian) lalu mengklaim kalau ia melihat sebuah prediksi, bukannya postdiksi (contoh modern postdiksi adalah teori “ilmiah” yang digagas Andrulis, 2012). Inilah mengapa sebuah klaim bahwa temuan sains modern sesuai dengan teks kitab suci muncul setelah temuan tersebut ada, bukan sebelumnya. Bahkan seandainya teks kitab suci sesuai dengan temuan sains modern “sekarang”, belum tentu ia sesuai dengan temuan sains di masa depan. Jika ditemukan di masa depan sesuatu yang meruntuhkan teori lama, dan ini sudah seringkali terjadi dalam sejarah sains, siapkah kitab suci dinyatakan salah? Atau tafsir baru akan muncul dan kembali dibuat klaim kalau kitab suci telah memprediksi temuan baru tersebut?
Prinsip kemajuan, apakah keberadaan Tuhan dalam sains membawa pada prinsip kemajuan? Jika Tuhan dimasukkan definisi seperti “Tuhan yang memiliki hubungan intelektual dan afektif dengan umat manusia” yang digunakan dalam survey keyakinan pada Tuhan kepada seribu ilmuan dariAmerican Men and Women of Science (Roth, 2008:24), hal ini akan membuat sains yang berbeda dari sekarang. Tuhan semacam ini adalah Tuhan yang dapat menjawab doa orang yang kesusahan. Ia dapat ikut campur seperti menurunkan mukjizat yang melanggar hukum-hukum alam. Jika hukum alam tidak menjadi sesuatu yang ketat tanpa pengecualian, maka kita mungkin akan melihat banyak kerusakan dalam teknologi buatan manusia yang tidak dapat dijelaskan kecuali karena doa orang yang teraniaya. Para perancang senjata mungkin mencari jalan untuk menjaga agar senjatanya kebal doa atau bahkan mereka sendiri merancang doa tertentu yang pasti mendapat jawaban dari Tuhan. Tentunya hal semacam ini tidak kita lihat dalam sains yang berkembang sekarang. Tidak ada ilmuan yang meletakkan jimat dalam rangkaian komputer untuk berjaga-jaga kalau Tuhan yang marah pada pengguna komputernya akan memakai komputer untuk menurunkan bala. Satu-satunya konsepsi Tuhan yang mungkin dapat mendorong kemajuan atau setidaknya netral terhadap kemajuan sains adalah konsep Tuhan sebagai alam, atau Tuhan tipe deisme.
Telah saya tunjukkan bagaimana konsep Tuhan tidak dapat bersesuaian dengan sains dan hal ini telah cukup lama disebut-sebut dalam berbagai literatur. Penemuan sains terus menggeser posisi Tuhan sehingga Tuhan hanya dapat dipakai mengisi celah-celah kecil dalam pengetahuan (God of the Gap) dan pada gilirannya, Tuhan terhapus sedikit demi sedikit seiring terisinya celah tersebut oleh penemuan baru.
Gagasan Tuhan yang lebih modern berpegang pada keteraturan alam itu sendiri. Ia tidak lagi digunakan sebagai penjelasan hal-hal istimewa di alam atau ketidakteraturan tampak di alam (mukjizat adalah bukti adanya Tuhan), tetapi dipakai untuk menjelaskan keteraturan itu sendiri (contohnya Steele, 2009). Hal ini sedikit aneh jika kita lihat bagaimana ide Tuhan dipindah-pindahkan dari satu kotak ke kotak lainnya. Agama modern dan bahkan aliran baru ketuhanan yang tidak menyebut dirinya agama (deisme, panteisme) menyatakan keteraturan alam sebagai bukti adanya Tuhan. Dalam bentuk geseran ini, Tuhan didamaikan dengan sains. Terisinya celah-celah hanya memperkuat bukti adanya Tuhan, bukannya menyingkirkannya.
Dalam pandangan modern ini, argumen yang paling sering dikutip adalah argumen kosmologis. Dan sainspun mulai pula menggeser Tuhan dalam wilayah ini, bukan dengan menyebutkan kalau alam ini pada dasarnya tidak teratur (berarti bunuh diri sains itu sendiri), tetapi dengan cara yang lebih elegan, dengan meminta bantuan ranah ilmu yang lebih tinggi, matematika. Tabel berikut menunjukkan bagaimana konsep Tuhan dan sains saling berinteraksi membentuk sebuah evolusi konsep Tuhan dari masa ke masa.
Masa Konsep Tuhan Argumen Sains
Masa animisme Semua benda itu hidup dan memiliki ruh, contoh: api, batu, jimat Benda terbagi dua berdasarkan sifat hidupnya: benda hidup dan benda tak hidup
Masa politeistik Argumen Pengisi Celah versi 1 (God of the Gap 1): Gejala langka adalah bukti adanya Tuhan, contoh: gunung meletus, gerhana, tsunami Gejala itu gejala alam biasa, hanya frekuensinya lebih jarang terjadi sehingga sulit dikaji, tapi dapat dijelaskan secara alamiah
Masa monoteisme Argumen Pengisi Celah versi 2 (God of the Gap 2): Mukjizat yang tidak masuk akal adalah bukti adanya Tuhan, contoh: Musa membelah laut, manusia berumur 900 tahun, tidur selama 300 tahun Hal-hal tersebut tidak mungkin terjadi karena melanggar hukum alam. Alam ini memiliki hukum yang tak dapat dilanggar karena jika tidak, maka alam  ini ada kecacatannya. Jika ada Tuhan, Tuhan  tidak akan menciptakan kecacatan di alam
Masa pencerahan Argumen Kosmologis: Alam ini begitu teratur, tidak ada cacat di dalamnya. Ini adalah bukti adanya Tuhan, contoh: hukum Newton, hukum Gas Ideal, desain mahluk hidup Keteraturan alam adalah bukti adanya hukum, bukan bukti adanya Tuhan. Alam semesta mungkin telah ada selamanya, tidak punya awal (Hume, 1980).
Abad ke-20 Alam semesta punya awal (Big Bang). Jadi Tuhan ada. Awal alam semesta itu imajiner (Hawking, 1988), alam semesta ini hanya generasi terbaru (Musser, 2004)
Masa modern Argumen Penyetelan Halus (fine-tuning): Alam semesta diciptakan dengan parameter-parameter yang disetel dengan hati-hati. Pasti ada Tuhan yang menciptakan alam, contoh: konstanta gravitasi, massa proton, gaya nuklir lemah Alam semesta kita hanya satu dari tak terhingga alam semesta, masing-masing dengan kombinasi parameternya sendiri-sendiri. Kita kebetulan hidup di alam semesta dengan parameter yang memungkinkan kita ada.
Masa depan ? ?
Sebelum beranjak pada bagaimana sains menggeser posisi Tuhan modern ini, mari kita lihat bagaimana argumen kosmologis diajukan.
ARGUMEN KOSMOLOGIS PART 4

.
Dengan melihat keteraturan di alam ini, para teolog mencoba membangun argumentasi lain mengenai keberadaan Tuhan. Ketimbang menisbahkan Tuhan pada gejala langka yang tak terjelaskan untuk sementara, mereka ikut mengambil asumsi sains, yaitu alam semesta ini secara keseluruhan teratur. Keteraturan alam semesta merupakan argumen yang digunakan sains untuk melawan adanya Tuhan pengisi celah (Tuhan yang menjawab do’a dan menurunan mukjizat). Walau begitu, argumen lawan ini diambil sebagai argumen dasar dengan menarik kesimpulan kalau pasti ada yang mengatur dan menciptakan alam ini, dan sang pengatur dan pencipta itu Tuhan.
Argumen kosmologis memiliki satu komponen menarik yang mirip sains, yaitu prediksi. Ia memprediksi kalau alam semesta ini diciptakan. Walaupun prediksi ini tidak dapat dibuktikan langsung, ia dapat dibuktikan tidak langsung. Jika alam semesta diciptakan, maka ia memiliki awal.
Sementara itu, sains kosmologi masih belum cukup berkembang untuk menjawab pertanyaan apakah alam ini memiliki awal atau tidak. Teori yang cukup kuat adalah teori keadaan tetap, yaitu alam selalu ada selamanya. Teori ini, menariknya, sama dengan konsepsi Jainisme, sebuah agama turunan dari Hindu, yang juga berasumsi demikian. Dan dengan ini, berarti Jainisme juga agama yang unik karena tidak memiliki Tuhan pencipta, walaupun ada Tuhan-Tuhan lain yang pada dasarnya adalah manusia (leluhur) yang mencapai taraf kesempurnaan tertentu.
Selain mengandung komponen sains, argumen kosmologis sendiri kental dengan komponen skriptural. Tuhan menciptakan alam semesta, misalnya dalam agama Abrahamaik yang menyebutkan kalau Tuhan menciptakan alam semesta dalam tujuh hari (masa). Ia bukan berasal dari sebuah argumentasi asli filsuf, tapi argumentasi atau bahkan mungkin asumsi dari para pendiri agama Abrahamaik. Dan ini bukan juga unik Abrahamaik, secara umum keyakinan di dunia, mengatakan kalau alam semesta ini ada yang menciptakan.
Argumen kosmologis sendiri terbagi menjadi tiga tipe (Craig, 1980:282):
  1. Argumen Aquinas. Argumen ini didasarkan pada kemunduran tanpa akhir yang mustahil. Argumen ini bukan berasal dari Aquinas tetapi dari para pemikir Islam abad pertengahan, tapi pada gilirannya, itupun dapat dirunut hingga ke Plato.
  2. Argumen kal?m. Didasarkan pada kemustahilan kemunduran waktu tanpa akhir karena ketakhinggaan aktual itu mustahil. Argumen ini datang dari para pemikir islam dan merupakan modifikasi dari argumen pertama (Fakry, 1957).
  3. Argumen Leibniz dan Clarke. Dibangun berdasarkan Prinsip Bernalar Cukup.
Ketiga argumen di atas dapat diringkas menjadi “Jika segalanya diciptakan, maka alam semesta diciptakan, pencipta alam semesta adalah Tuhan.” Begitu pula, argumen ini umumnya dibalas dengan bertanya “Siapa pencipta Tuhan?” (Hawking, 1988:174). Davis (1997) tidak setuju dengan keabsahan mempertanyakan “Siapa pencipta Tuhan?” Alasannya, Tuhan adalah mahluk perlu (O’Connor, 2008). Ia adalah mahluk yang jika ada, maka tidak dapat tidak ada. Jika ia tidak ada, maka ia tidak dapat ada (Reichenbach, bab 6). Ia perlu ada untuk  menutup kemunduran tanpa akhir yang terus muncul dalam rantai sebab akibat. Jika tidak diputus di Tuhan, maka kita akan terus merujuk ke masa lalu tanpa akhir. Eksistensi Tuhan sebagai penghenti regresi bukan argumen logis (karena memang bisa ditanyakan siapa pencipta Tuhan) tetapi argumen metafisik. Metafisika bukan bagian yang dapat diterapkan logika di dalamnya (ingat bagaimana sains menghindari metafisika karena tidak dapat diuji, disalahkan, dan sebagainya). Scotus (1962:46) bahkan lebih bebas lagi. Ia mengizinkan urutan sebab akibat berjalan tanpa akhir. Regresi ke masa lalu selalu ada dan tidak perlu Tuhan menghentikan itu. Tetapi sesuatu pasti selalu mempunyai sebab dalam deretan tak terhingga ini. Jika kita ambil sepotong dari deretan ini sebagai sebuah akibat dan potongan ini adalah alam semesta kita, maka ia punya sebab, dan sebab itu adalah Tuhan. Pertanyaan “siapa pencipta Tuhan?” itu boleh diajukan, tetapi dapat diabaikan. Seluruh sebab sebelum Tuhan, bahkan dapat dinyatakan sebagai Tuhan, karena Tuhan tak terbatas (Lihat Gambar 2).

Gambar 2: Tiga Posisi Tuhan dalam Rantai Sebab-Akibat (kotak merah = Tuhan, S-A = Sebab-Akibat)
Argumen keterbatasan waktu yang diajukan oleh para filsuf kal?m. Termasuk argumen yang paling kuat. Suatu saat di masa lalu, menurut mereka, waktu memiliki awal (Gambar 3(b)). Para ilmuan masa itu umumnya cukup mengatasi masalah ini dengan menyebutkan kalau alam semesta ada selamanya (Gambar 3(a)). Hume (1980, part 9) misalnya, berargumentasi kalau karena kita menurunkan konsep sebab-akibat dari pengamatan kita pada sesuatu dalam keseluruhan (komponen dari alam semesta), sementara keseluruhan (alam semesta) tidak dapat kita amati (karena kita bagian dari alam semesta), maka kita juga tidak dapat menerapkan konsep sebab-akibat pada alam semesta. Alam semesta telah begitu adanya selamanya, karena ia alam semesta.
Reichenbach (1972: Bab 5) mengakui kalau asumsi bahwa alam semesta berperilaku seperti isinya (yang punya sebab-akibat) berpotensi salah. Tetapi alam semesta mungkin terhindar dari kesalahan ini jika kita melihat contoh positif. Contoh negatif misalnya, jika batu bata kecil, maka temboknya kecil. Ini contoh negatif karena belum tentu batu bata kecil tapi seluruh batu bata (tembok)nya kecil juga. Contoh positif misalnya, tembok sesungguhnya batu bata, karena penyusun tembok adalah batu bata. Menurut Reichenbach (1972) alam semesta kita memiliki sifat seperti contoh positif ini dan bisa menerapkan pernyataan “alam semesta memiliki sebab karena komponen-komponennya memiliki sebab.” Kita dapat melihat kalau argumen ini tidak langsung merujuk pada Tuhan, karena kita dapat membayangkan sesuatu yang tidak dapat disebabkan agen, misalnya sesuatu yang terjadi secara kebetulan (kayu-kayu  yang hanyut menyumbat sungai dan kebetulan membentuk jembatan).
Versi lain dari gagasan Hume, yang didukung oleh kosmologi modern, adalah tipe alam semesta siklis (Gambar 3(d)). Versi ini menyatakan kalau, walaupun alam semesta berawal dari Big Bang, ia bukanlah alam semesta pertama (Musser, 2004). Versi ini disebut juga versi osilasi, yang menyatakan alam semesta kita merupakan alam semesta terbaru. Sebelum Big Bang, ada alam semesta lain, yang runtuh mengerut (kebalikan dari pengembangan) ke satu titik. Alam semesta adalah siklus dari mengembang mengerut dst. Osilasi ini tampaknya memiliki awal tetapi gagasan adanya awal (dan akhir) ini datang dari asumsi kalau hukum fisika yang berlaku di setiap siklus alam semesta adalah sama (Silk, 2001:380). Bagaimana jika setiap terjadi big bang, hukum fisika yang ada dikocok ulang oleh suatu mekanisme, jika seperti ini, setiap alam semesta lahir, ia adalah generasi yang sungguh-sungguh baru, bukan sisa dari alam semesta sebelumnya. Pilihan pertama tampaknya lebih didukung, karena alam semesta siklis digunakan untuk menjelaskan kelimpahanmateri gelap di alam semesta. Materi gelap datang dari alam semesta sebelumnya, dan berarti alam semesta sekarang tidak benar-benar baru.
Pendekatan yang lebih modern, dengan adanya pengetahuan baru mengenai Big Bang, diberikan oleh Hawking. Hawking (1988:116) mendekati masalah ini dengan menyatakan kalau waktu tidaklah berjalan linier, tetapi asimptotik. Semakin mendekati awal waktu, waktu semakin panjang, sedemikian panjangnya bahkan tidak mungkin ada awal waktu (Gambar 3(c)). Akibatnya, awal waktu adalah sesuatu yang ada di ketakhinggaan, sesuatu yang imajiner, dan berarti alam semesta tidak memiliki awal. Jika alam semesta tidak memiliki awal, maka tidak ada pencipta.
Oppy (2002) memberikan contoh paradoks Tristam Shandy. Shandy, seorang tokoh imajiner, butuh waktu satu tahun untuk menulis diari tentang satu hari dalam hidupnya. Jika ia hidup selama setahun, maka ia butuh waktu menulis diarinya untuk tahun itu selama 365 tahun. Pada akhirnya, ia tidak akan pernah selesai menulis diarinya, karena waktu menulis diari lebih lama dari waktu menjalani pengalaman. Lebih parah lagi, bebannya untuk menulis diari akan semakin besar seiring bertambahnya usia. Bahkan jika Shandy adalah mahluk abadi, bebannya untuk menulis diari akan semakin besar tak terhingga di atas tak hingga. Jika awal waktu dipandang sebagai akhir dari diari tersebut, maka awal waktu ini adalah imajiner. Seperti inilah awal waktu yang asimtotik tersebut.
Empat versi argumentasi ini ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3: Perbandingan Empat Versi tentang Awal Waktu dan Realita
Lebih jauh, Silk (2001:63) menekankan empirisme dalam kasus Big Bang. Apa yang kita tahu dari Big Bang adalah alam semesta berada dalam ukuran sangat kecil. Teis terlalu berlebihan dengan menyebutkan alam semesta mewujud ketika Big Bang. Sains dengan kemampuan sebelum sekarang tidak mampu secara teoritis maupun empiris mengetahui apa yang terjadi dalam jarak sangat sempit ini (jarak Planck). Silk menekankan kalau dalam jarak demikian kecil, ada tiga kemungkinan yang ada:
  1. Alam semesta terus menjadi kecil dan lenyap pada waktu mundur, berarti alam semesta berawal. Ini yang disukai oleh Teis karena bisa ditarik kalau ada sang Pencipta.
  2. Alam semesta mengembang lagi pada waktu mundur, berarti big bang hasil pengerutan alam semesta sebelumnya yang mencapai batas yang mungkin untuk mengerut. Ini yang disukai ateis, karena berarti alam semesta tak punya awal, hanya melalui siklus.
  3. Alam semesta dalam kemungkinan lain yang tak terbayangkan. Mungkin ia selamanya seperti itu dan pengembangan alam semesta adalah anomali. Mungkin ada yang salah dengan teori kosmologi modern. Mungkin alam semesta masuk ke level ruang-waktu berbeda, dan mungkin. Ada banyak sekali cara aneh membayangkan alam semesta di masa ini, sejauh kemampuan imajinasi kita memunculkan fantasi.
Dengan adanya argumen dari teisme (Tuhan mencipta alam semesta), materialisme (mungkin alam semesta abadi), dan humanisme (kita tidak tahu karena kita terbatas sebagai manusia), Swinburne (1996:Bab 3) melakukan analisis kemungkinan dan mengajukan kalau argumen yang paling sederhana adalah yang paling pantas diterima. Argumen adanya Tuhan adalah yang paling sederhana, cukup begitu saja, Tuhan ada, selesai masalah. Tetapi, dalam petualangan intelektual manusia memahami alam semesta, muncul konsep yang sedemikian sederhana, lebih sederhana katanya adari Tuhan ada. Konsep ini adalah multijagad. Sebelum beranjak ke penjelasan multijagad, silakan rujuk Tabel 2 untuk rangkuman evolusi argumentasi kosmologis.
Argumentasi Agama Argumentasi Sains
Segala yang ada di alam pasti punya sebab, jadi alam semesta punya sebab, yaitu Tuhan (Plato, kal?m, Al Ghazali, Aquinas) Siapa yang menciptakan Tuhan?
Tuhan perlu untuk menghentikan regresi (Aquinas), regresi tidak masalah tapi segala sebab sebelum alam semesta adalah Tuhan (Scotus) Alam semesta tidak punya awal. Apa bukti alam semesta punya awal?
Tidak ada yang tidak berawal di dunia, jadi alam semesta juga punya awal Tidak selalu ciri komponen (isi alam semesta) mencirikan keseluruhan (alam semesta)
Alam semesta bersifat sama dengan penyusunnya (Reichenbach) Atas dasar apa anda memilih kemungkinan itu dari kemungkinan lainnya?
Alam semesta diciptakan (Big Bang) Itu hanya satu kemungkinan dari tafsir Big Bang (Silk). Apa dasar anda memilih kemungkinan itu?
Keberadaan materi gelap tidak dapat dijelaskan sains (God of the Gap) Berarti alam semesta bersifat siklis (Musser)
Alam semesta siklis pasti punya awal Teori siklis tidak sekuat Big Bang. Materi gelap suatu saat bisa dijelaskan dalam kerangka Big Bang. Kembali, apa alasan anda memilih kemungkinan ini dibandingkan kemungkinan lain?
Keberadaan Tuhan adalah penjelasan yang paling sederhana (Swinburne) Ada yang lebih sederhana lagi, yaitu multijagad (Einstein, Everett, Tegmark)
Tabel 2: Rangkuman Evolusi Argumentasi Kosmologis
PART 5 ALAM SEMESTA

Selama bermilenia orang bicara tentang adanya dunia lain selain dunia kita. Agama-agama bicara tentang aneka alam semesta: dunia jin, dunia malaikat, dunia akhirat, surga, neraka, nirwana, dan sebagainya. Dalam perkembangan yang mengherankan, sains juga merujuk ke arah multijagad. Tegmark (2007) membagi multijagad ke dalam empat tingkatan. Sebelum masuk ke bahasan ini, pertama-tama, mari kita perjelas apa itu sebuah alam semesta atau sebuah jagad.
Anda, saya, semua manusia (kecuali beberapa astronot) tinggal di planet Bumi. Anda sudah cukup dapat membayangkan seberapa besar planet ini. Planet ini memiliki sebuah pengawal, Bulan. Pasangan Bumi dan Bulan mengikuti sebuah orbit mengelilingi benda yang lebih besar, sejuta kali ukuran Bumi, benda itu adalah Matahari. Jarak dari Bumi ke Matahari adalah delapan menit perjalanan cahaya. Ini artinya, informasi tentang Matahari yang kita lihat sekarang, sesungguhnya informasi yang datang dari Matahari, delapan menit lalu. Jarak di alam semesta biasanya diukur dengan lamanya waktu yang ditempuh cahaya untuk mencapainya. Mulai sekarang, kita pakai waktu cahaya sebagai ukuran jarak.
Bukan hanya Bumi yang mengelilingi matahari, jauh di ujung sana, 13 kali jarak Bumi ke Matahari, ada Neptunus, dan 97 kali jarak Bumi ke Matahari, ada Eris, sebuah batu raksasa yang bersemayam dalam Sabuk Kuiper, hutan benda sejenisnya. 100 ribu jarak Bumi ke Matahari, ada kabut Oort, sebuah awan inti komet yang menyelubungi Tata Surya membentuk bola. Bola ini, dengan segala isinya, adalah Tata Surya kita.

Posisi kita di Alam Semesta
Selanjutnya, Tata Surya hanyalah satu dari, 300 juta Tata Surya yang mungkin ada dalam satu sistem yang lebih besar, yang kita sebut Galaksi Bima Sakti. Tata Surya kita berada di salah satu lengan spiralnya lebih dekat ke pinggir. Tentu saja, ini ukuran maksimum. Tidak seorang ilmuanpun mampu melihat satu demi satu tata surya di galaksi kita. Tapi setidaknya, setiap tata surya, punya bintang di tengahnya, seperti Matahari, dan karena ada 300 miliar bintang di Bima Sakti (Wethington, 2008), dan anggaplah hanya 0.1% nya saja yang ditutupi selubung seperti Kabut Oort, maka ada 300 juta tata surya. Galaksi Bima Sakti merupakan cakram mirip lingkaran obat nyamuk ganda dengan diameter sekitar 100 ribu tahun cahaya. Bintang-bintang ini mengalami siklus hidup mati dan jumlahnya terus berubah-ubah. Ada yang membentuk gerombolan hingga satu juta bintang, ada yang hanya berdua saja (binari), dan banyak juga yang sendirian seperti matahari kita. Ada yang kecil sekali seukuran Bumi ada juga  yang Maharaksasa hingga sejuta kali ukuran Matahari. Menariknya, semakin kecilnya bintang, semakin panjang umurnya.
Galaksi Bima Sakti dulunya dianggap pulau di tengah kekosongan jagad. Lalu ditemukan galaksi lain, Andromeda. Lalu ditemukan galaksi lain lagi, ditemukan lagi, dan lagi. Sekarang setidaknya ada, 170 miliar galaksi yang telah ditemukan (Gott et al, 2005). Kembali strukturnya berulang, ada galaksi yang sendirian, ada yang mengelompok beberapa buah, beberapa ratus, beberapa juta, dan bahkan beberapa miliar. Diameter cakrawala alam semesta yang memuat 170 miliar galaksi ini sekitar 92 miliar tahun cahaya (Bielewicz dan Banday, 2011).
PART 6 Multijagad Tingkat Satu: Jagad Inflasi

Struktur alam semesta ini, yang ada kita di dalamnya, pada dasarnya terdiri dari kepadatan tertentu dan materi tertentu. Jika lebih renggang dari sekarang, kita akan melihat lebih sedikit galaksi. Jika lebih padat dari sekarang, tentu kita melihat lebih banyak galaksi. Begitu pula, jika partikel penyusunnya beda, maka zat pengisi alam semesta yang kita lihat akan berbeda pula. Kepadatan dan materi beserta parameternya seperti tetapan kopling dan massa partikel, disebut sebagai kondisi awal alam semesta. Ia ditentukan oleh hukum fisika, yang disebut model standar.
Model standar menyebutkan kalau kekosongan dalam fisika berbeda dengan kekosongan sejati. Ketika kita bicara kekosongan, kita membayangkan ketiadaan apa-apa. Sesuatu yang berdimensi negatif satu dalam matematika. Kosong ya kosong, tidak ada apa-apa (true vacuum). Kekosongan dalam fisika berbeda. Anggap seluruh alam semesta ini kita buang isinya, apa yang tertinggal adalah kekosongan itu sendiri. Tetapi kekosongan ini tetap memiliki sesuatu. Ia tipe kekosongan yang disebut kekosongan palsu (false vacuum). Alam semesta dengan cara ini dapat dibayangkan sebuah mangkuk berisi jus cincau. Kondisi kosong palsu tercapai ketika hanya ada mangkuk, tidak ada jus cincau lagi. Kondisi kosong sejati tercapai ketika tidak ada mangkuk sama sekali.
Dalam kekosongan palsu terdapat gejolak eksistensi yang disebut ilmuan sebagai fluktuasi kuantum. Gejolak eksistensi ini ditandai dengan muncul lalu lenyapnya materi palsu. Sebuah materi sub atom muncul lalu lenyap, dalam selang waktu sepersemiliar detik atau kurang. Gejolak ini memunculkan apa yang disebut ilmuan sebagai gaya kuantum. Dan ini bukan spekulasi, sudah ada eksperimennya dan sudah ada ilmuan yang mendapat nobel karenanya. Gejala ini disebut efek Casimir. Lebih jauh, fluktuasi kuantum ditemukan di alam semesta dan disebut fluktuasi purba oleh pengamatan observatorium COBE (Smoot et al.1992)
Gejolak kuantum inilah yang menjadi asal muasal kondisi awal alam semesta. Alam semesta adalah efek Casimir yang mewujud menjadi nyata. Ia eksis, tapi gagal lenyap, dan menjadi nyata, mengembang bersama kondisi awalnya yang seperti sekarang. Tetapi, sebuah pertanyaan menggelitik, dan ini disebut argumen penyetelan halus (fine-tuning universe): kenapa kondisi awal yang kita peroleh seperti ini, bukan lainnya?
Para fisikawan bertanya, mengapa massa elektron yang dihasilkan gejolak kuantum seperti sekarang, bukan massa yang lain? Setelah diperiksa, dari sekian banyak kemungkinan, hanya ada sedikit kemungkinan yang dapat memunculkan susunan yang memungkinkan kehidupan kompleks. Gabungkan parameter ini dengan parameter lainnya, maka yang kita peroleh adalah sebuah kondisi awal yang sangat langka. Tapi gejolak kuantum muncul setiap saat dalam kekosongan palsu dan kondisi awal yang mana pun punya peluang yang sama untuk muncul. Kenapa harus yang seperti ini? Ada dua kubu : kubu Tuhan dan kubu multijagad. Kubu Tuhan bilang, ya ini karena Tuhan yang memilihkan kondisi awal seperti ini. Kubu Multijagad bilang, itu kebetulan. Kebetulan di alam semesta kita kombinasi yang muncul seperti itu, dan ada tak terhingga alam semesta.
Bagaimana mungkin ada tak terhingga alam semesta? Hal tersebut hanya mungkin benar secara ilmiah jika kita melihat alam semesta lain selain alam semesta kita bukan? Hal ini sebenarnya konsekuensi logis dari teori inflasi. Mari kita tinjau sebentar tentang teori inflasi.
Telah disebutkan kalau diameter alam semesta 92 miliar tahun cahaya. Artinya seandainya kita diubah menjadi planet Bumi dan melihat ke kiri, kita mampu mengindera jagad raya hingga sejauh 46 miliar tahun cahaya. Melihat ke kanan, kita bisa melihat jagad raya sejauh 46 miliar tahun cahaya juga. Masuk akal jika usia alam semesta ini adalah 46 miliar tahun, karena itulah waktu minimal yang diperlukan materi bergerak dari satu ujung ke ujung lain jagad raya. Ingat, menurut teori relativitas, kecepatan tertinggi di alam semesta adalah kecepatan cahaya. Tapi, tak disangka, alam semesta usianya hanya 12,8 miliar tahun. Bahkan tak sampai separuh diameter jagad raya. Ini artinya, alam semesta memuai dengan kecepatan melebihi kecepatan cahaya itu sendiri. Bagaimana mungkin? Ini yang disebut masalah domain dalam teori Big Bang.
Untuk menambal kekurangan ini, ilmuan mengajukan teori inflasi (Bucher dan Spergel, 1999). Teori inflasi mengatakan, beberapa saat setelah Big Bang, alam semesta mengembang sangat cepat, sedemikian cepat, hingga melebihi kecepatan cahaya. Seperti balon yang ditiup. Bagian-bagian dari balon ini tidak sempat berhubungan satu sama lain karena kecepatan pengembangan melebihi kecepatan yang bisa ditempuh informasi dari bagian-bagian tersebut untuk menyeberang ke bagian lain. Seberapa cepat inflasi ini? Tampaknya itu bisa diketahui jika kita mengetahui kecepatan gerak bagian terjauh dari alam semesta. Tetapi bagian tersebut sedemikian jauhnya sehingga informasinya belum sampai ke kita. Lebih parah lagi, bagian tersebut semakin menjauh dari kita dengan gerak dipercepat. Informasinya tidak akan pernah sampai ke kita.
Tetapi ilmuan punya cara lain, yaitu mengukur temperatur alam semesta. Jika alam semesta memuai begitu cepatnya pada masa inflasi, semakin cepat ia mengembang, maka alam semesta semakin luas kan? Semakin luas artinya alam semesta semakin datar. Eksperimen dan pengamatan, dilakukan di Antartika dan di luar angkasa, menemukan bahwa, alam semesta kita berbentuk benar-benar datar! (Netterfield et al. 1995; Scott et al. 1996; Lineweaver et al. 1997)

Gambar 5: Kemungkinan Bentuk Alam Semesta. Alam semesta kita berbentuk datar.
Apa artinya alam semesta datar? Artinya alam semesta kita tak terhingga luasnya. Tak terhingga dalam artian datar, bukan seperti donut atau bola yang terhingga tapi tak terbatas (Baltovic, 1999). Ini sangat sederhana bukan? Kita tidak membayangkan kalau pesawat dalam film Star Trek suatu saat akan tiba di ujung Alam Semesta. Itu aneh, lebih masuk akal kalau pesawat tersebut akan terus saja melaju tanpa pernah tiba di suatu ujung. Walaupun alam semesta ini hampir sepenuhnya kosong, tapi jika kita mempunyai roket yang terus bergerak lurus, tanpa dipengaruhi gravitasi, suatu saat ia akan menabrak sebuah benda, tidak mungkin ia menabrak ujung alam semesta.
Dalam masa inflasi, karena kecepatan informasi terbatas, maka daerah-daerah dalam bagian alam semesta yang memuai memiliki konfigurasinya sendiri-sendiri. Fluktuasi kuantum tidak mampu saling menyatu dan akibatnya kondisi awal dari tiap wilayah terpisah ini berbeda-beda. Alam semesta kita hanya satu bintik dari tak terhingga bintik dalam balon yang mengembang ini. Bintik kita, memiliki kondisi awal seperti yang kita amati sekarang. Bintik lain, berbeda. Lebih menyeramkannya lagi, dalam alam semesta tak terhingga, akan ada bintik-bintik yang 100% sama persis dengan alam semesta kita. Dan karena jumlahnya tak terhingga, jumlah bintik-bintik ini juga tak terhingga banyaknya. Tegmark (2008) bahkan menghitung kalau salinan yang tepat seperti anda dan mengerjakan hal yang anda lakukan sekarang, membaca artikel ini, berada pada jarak sekitar 1010^(29) meter jauhnya dari anda sekarang.
Inflasi menyebabkan fluktuasi kuantum mewujudkan seluruh kombinasi yang mungkin dari kondisi awal dan karena kombinasi yang mungkin itu terhingga, maka ada tak terhingga jumlah kombinasi yang sama. Ada tak terhingga anda di dalam jagad yang muncul dari Big Bang, masing-masing tinggal dalam bintiknya sendiri. Para ilmuan menyebut bintik alam semesta lokal ini sebagai volume Hubble atau dilambangkan dengan O (huruf kapital o dengan model huruf ParkAvenue BT).
Dua asumsi pendukung multijagad ini adalah alam semesta tak terbatas dan distribusi materi yang seragam. Kita telah menyebutkan bagaimana alam semesta tak terbatas dikonfirmasi oleh sains, bagaimana dengan distribusi materi yang seragam. Ini mirip dengan argumen yang diajukan oleh Reichenbach sebelumnya bahwa komponen penyusun anggota himpunan mencirikan himpunan itu sendiri, bagian mencirikan keseluruhan. Tapi bagaimana kita yakin? Bisa jadi kasusnya malah seperti bata kecil menyusun tembok besar, bukannya tembok adalah bata karena tersusun dari bata.
Sayangnya para ilmuan hanya menduga hal ini benar berdasarkan pengamatan pada alam semesta kita. Dalam volume Hubble, distribusi materi terlihat seragam ke segala arah. Ketidak seragaman hanya dideteksi pada sutruktur kurang dari sekitar 1024 meter (100 juta tahun cahaya). Ukuran ini sangat kecil dibandingkan dengan O. Jika kita bandingkan, ketidakseragaman hanya mencakup sepersejuta dari bagian volume Hubble. Masuk akal jika ditarik kesimpulan kalau seluruh multijagad bersifat seragam karena ukurannya lebih besar lagi dari volume Hubble. Dalam skala yang jauh lebih besar dari volume Hubble, dapat ada sebuah domain dimana tetapan kopling dan massa partikel dalam model standar tidak konsisten dengan kehidupan dan karenanya, tidak mengherankan kalau kita hidup di volume Hubble yang mendukung kita hidup, jika tidak, kita tidak akan mengajukan pertanyaan mengapa alam semesta kita (O. yang kita tempati) memiliki konfigurasi yang mendorong kehidupan.
Gambar 6: Alam Semesta Kita dalam Multijagad Level 1
Multijagad tipe ini disebut multijagad tingkat 1 oleh Tegmark karena alam semesta-alam semesta hanya berbeda dalam kondisi awalnya saja, sementara hukum fisika yang mengatur alam semesta ini sama. Ia lebih sederhana dari asumsi jagad tunggal yang membutuhkan jawaban atas pertanyaan: mengapa distribusi materi dan kerapatan alam semesta seperti sekarang, kenapa tidak yang lain? Gerakan ID menyebut sebabnya adalah Tuhan yang mereka pandang lebih sederhana. Kesederhanaan ini dimunculkan dari asumsi kalau sebuah peristiwa dengan kemungkinan yang kecil tidak muncul karena kebetulan (Dembski, 1998:48). Tentu saja asumsi ini tidak logis karena kemungkinan apapun, sejauh tidak nol, tetap dapat mewujud secara kebetulan. Ambil contoh seperangkat kartu remi dengan 52 kartu, kemungkinan sebuah konfigurasi 7 kartu ada di tangan anda adalah 1: (52x51x50x49x48x47x46) atau satu dari 674274182400 kemungkinan atau secara pecahan, kemungkinannya adalah 0,000000000001, tetapi tetap saja ia mewujud di tangan anda kan? Dan dalam alam semesta tak terhingga luasnya, kemungkinan ini pasti akan mewujud (Monton, 2004). Itu mengapa para ilmuan (setidaknya filsuf sains), memandang gagasan multijagad yang memunculkan segala kondisi awal yang mungkin lebih sederhana karena kita tidak perlu memilih salah satu dan adanya kita di volume Hubble sekarang hanyalah kebetulan belaka. Tapi, Tegmark beranjak lebih jauh dengan memberikan deskripsi multijagad tingkat kedua, yang lebih sederhana lagi dari tingkat 1.
PART 7 Mutijagad Tingkat Dua: Jagad Fraktal


Bayangkan sebuah segitiga. Lalu ada empat segitiga kecil di dalam segitiga besar tersebut. Kemudian, di dalam segitiga kecil tersebut ada empat segitiga yang lebih kecil lagi. Dalam segitiga yang lebih kecil itu ada lagi empat segitiga yang lebih kecil lagi, dan seterusnya tanpa akhir. Kembali ke segitiga besar, ia ternyata hanya sebuah segitiga dari empat segitiga besar dalam segitiga yang lebih besar. Dan pembesaran ini terus berulang semakin besar. Segitiga di dalam segitiga di dalam segitiga, setiap segitiga sama bentuknya hanya beda ukurannya (Lihat Gambar 7). Inilah fraktal, objek geometri dengan bentuk replikasi diri dalam skala berbeda.

Gambar 7: Segitiga Fraktal atau disebut juga Gasket Sierpinski (sumber: Harris dan Stocker, 1998)
Bagaimana jika alam semesta kita yang mencakup multijagad tingkat satu, hanya merupakan satu jagad dari tak terhingga jagad raya dalam satu jagad yang lebih besar. Alam semesta kita adalah satu segitiga besar di dalam segitiga yang lebih besar lagi. Multijagad fraktal, dimana alam semesta kita di dalam alam semesta lain dan alam semesta tersebut berada di dalam alam semesta lain dan seterusnya tanpa akhir (ad infinitum), merupakan versi multijagad yang mengeksploitasi ruang dimensi tinggi. Dalam multijagad tingkat satu (jagad raya sesungguhnya), kita secara teoritis dapat datang ke volume Hubble yang lain, apabila kecepatan memungkinkan. Kita dapat hidup di sana karena perbedaan antar jagad hanya dalam massa materi dan kepadatan materi. Walau begitu, dalam jagad fraktal, alam semesta sepenuhnya terpisah. Masing-masing diatur oleh hukum fisika efektif yang berbeda. Lebih jauh lagi, alam semesta level pertama kita sudah tak terhingga luasnya. Bagaimana keluar dari sesuatu yang tak terhingga?
Hal ini berangkat dari teori inflasi pula, dan didukung oleh oleh teori string (Susskind, 2003:12), yaitu fakta kalau jagad raya kita mengembang. Jika ia mengembang, maka ada sebuah ruang yang terisi. Sebuah balon tidak akan mengembang jika tempat ia mengembang sudah dipenuhi oleh dirinya. Karena ada ruang untuk jagad raya mengembang, maka ruang ini juga memiliki daerah kosong untuk menjadi daerah pengembangan lanjutan. Bagaimana jika ruang kosong tempat pengembangan alam semesta itu tak terhingga. Ada tak terhingga ruang kosong dan jagad raya level 1 kita hanya menempati sangat kecil sekali ruang. Dalam ruang kosong yang sangat luas tadi, dapat ada alam semesta lain yang mengembang. Akibatnya, dalam ruang pengembangan jagad raya terdapat tak terhingga jagad raya yang mengembang. Semua berawal dari Big Bang nya masing-masing dan tidak harus Big Bangnya terbentuk 12,8 miliar tahun lalu seperti alam semesta kita. Malah, Big Bang terjadi setiap saat. Ada tak terhingga jagad raya gelembung yang terpisah satu sama lain.
Tetapi jumlah jagad raya tak berhenti sampai di sini. Fakta lain selain jagad raya mengembang adalah ia mengembang abadi (Linde, 1990; Vilenkin, 1083; Starobinsky, 1986; Goncharov, Linde, dan Mukhanov, 1987; Salopek dan Bond, 1991; Linde, Linde, dan Mezhlumian, 1994). Karena pengembangannya abadi, maka suatu saat dalam wilayah pengembangannya, akan mungkin muncul Big Bang. Artinya Big Bang di dalam Big Bang. Hal ini sejalan dengan segitiga kecil di dalam segitiga besar dimana kita adalah segitiga besar tersebut. Ada aspek menarik dari hipotesis ini, kita suatu saat dapat mengamati kemunculan alam semesta baru di dalam alam semesta kita, gelembung di dalam gelembung.
Ide lain bagaimana alam semesta muncul di dalam alam semesta adalah lewat lubang hitam. Smolin (1997) mengajukan kalau lubang hitam di alam semesta kita, memiliki lubang putih di alam semesta lain atau tempat lain di  alam semesta kita. Setiap materi yang masuk ke dalam lubang hitam mewujud di lubang putih sebagai Big Bang baru. Karena materi terus menerus masuk ke dalam lubang hitam, maka Big Bang terus menerus terjadi di satu titik tetap di mulut lubang putih. Akibatnya, akan terwujud alam semesta bawang dimana satu lapisan alam semesta berada di dalam lapisan alam semesta lain, seperti halnya bawang ataupun boneka Matrioskha.
Selain berbeda ukuran, beberapa gelembung pada akhirnya tidak akan berkembang lebih jauh. Beberapa bahkan akan runtuh menuju Big Crunch (kebalikan dari Big Bang). Kecepatan pengembangannya juga dapat berbeda-beda. Hal ini disebabkan tiga skenario yang mungkin dari geometri alam semesta dari masing-masing gelembung (Lihat kembali Gambar 5) yaitu terbuka, tertutup, dan datar. Alam semesta kita telah terbukti datar, pengembangan melambat tapi tidak pernah berhenti, tapi alam semesta lain dapat terbuka, dimana pengembangan terus semakin dipercepat, atau tertutup, dimana pengembangan pada akhirnya berhenti dan menjadi pengerutan (Linde, 1994).
Walaupun waktu yang ada mungkin tak terhingga, seiring bertambahnya waktu, jumlah jagad raya akan semakin banyak. Hal ini karena setidaknya ada satu alam semesta terbuka atau alam semesta datar lahir setiap saat, dan alam semesta tipe ini tak pernah berhenti mengembang. Dan alam semesta dari dua jenis ini adalah alam semesta yang produktif dalam membentuk Big Bang baru.
Mutijagad Level 2 menyanggah argumen penyetelan halus lebih jauh lagi. Jika sebelumnya, multijagad Level 1 menyanggah kalau Tuhan memilihkan massa partikel dan kepadatan jagad raya agar terbentuk kehidupan dengan menyatakan seluruh massa dan kepadatan yang mungkin itu ada entah di mana dalam alam semesta tak terhingga, maka multijagad gelembung menyanggah kalau Tuhan memilihkan dimensi ruang waktu yang ada agar terbentuk kehidupan. Dalam setiap Big Bang baru, struktur ruang waktu di alam semesta yang akan terbentuk kemudian diacak dan semua kemungkinan dimensi muncul. Tentu saja, jagad dengan 3 dimensi ruang dan 1 dimensi waktu masih yang paling mungkin menerima kehidupan kompleks seperti kita ketimbang ruang dengan kombinasi dimensi ruang dan waktu lainnya. Tetapi karena ada tak terhingga jagad raya, maka tak terhingga pula jagad raya dengan 3 dimensi ruang dan 1 dimensi waktu. Akibatnya, Tuhan tidak perlu memilihkan, kehidupan adalah konsekuensi dari dunia dengan 3 dimensi ruang dan 1 dimensi waktu (Lihat Tabel 3). Dan ini juga menjalar ke konstansta-konstanta lain yang menjadi dasar sistem fisika dunia tersebut karena dimensionalitas mempengaruhi batas-batas yang mungkin dari nilai-nilai tersebut (Barrow dan Tipler, 1986:259).
Dalam dunia dengan dimensi waktu lebih atau kurang dari 1, persamaan diferensial parsial alam akan kekurangan sifat hiperbolisitas yang memungkinkan pengamat melakukan prediksi. Dunia demikian menjadi kacau. Dalam dunia dengan dimensi ruang lebih dari tiga, tidak dapat ada atom tradisional (atom dalam makna lain mungkin ada) dan mungkin strukturnya tidak stabil. Sebaliknya, dunia dengan dimensi ruang kurang dari tiga tidak memungkinkan gravitasi dan terlalu sederhana bagi kehidupan (Tegmark, 1997). Bisa dibayangkan hal ini dengan melihat kalau dunia dengan dimensi ruang (-1) adalah ketiadaan mutlak, dunia dengan dimensi ruang 0 adalah titik, dunia dengan dimensi ruang 1 adalah garis (panjang), dan dunia dengan dimensi ruang 2 adalah bidang (panjang x lebar). Kita hidup di dunia dengan dimensi ruang 3 yang merupakan volume (panjang x lebar x tinggi).

Jumlah Dimensi Ruang
Jumlah Dimensi Waktu

0
1
2
3
4
5
0
Kacau
Kacau
Kacau
Kacau
Kacau
Kacau
1
Kacau
Terlalu Sederhana
Terlalu Sederhana
Kita Hidup Disini
Tidak stabil
Tidak stabil
2
Kacau
Terlalu Sederhana
Kacau
Kacau
Kacau
Kacau
3
Kacau
Hanya Tachyon
Kacau
Kacau
Kacau
Kacau
4
Kacau
Tidak stabil
Kacau
Kacau
Kacau
Kacau
5
Kacau
Tidak stabil
Kacau
Kacau
Kacau
Kacau
Tabel 3: Kombinasi Dimensi Waktu dan Ruang yang Mungkin (Sumber: Tegmark, 1997)
Argumentasi multijagad merupakan bagian dari struktur argumentasi yang lebih besar yang diwacanakan sejak tahun 1974 oleh Carter. Argumentasi ini disebut prinsip antropik. Ia merupakan jawaban sains terhadap masalah argumen sebab Tuhan. Sementara argumen sebab Tuhan bicara kalau kebetulan-kebetulan (massa, kepadatan, dimensi) alam semesta memungkinkan manusia hidup adalah karena Tuhan membuatnya demikian agar kita bisa ada, argumen Antropik bicara kalau kebetulan-kebetulan tersebut adalah bagian dari struktur jagad raya. Ia mengajukan dua prinsip yaitu prinsip antropik lemah (PAL) dan prinsip antropik kuat (PAK). PAL menyatakan kalau: Kita harus bersiap menghadapi fakta kalau lokasi kita di alam semesta perlu ada agar sesuai dengan keberadaan kita sebagai pengamat. PAK menyatakan kalau: Alam semesta (dan parameter dasar yang tergantung padanya) harusnya sedemikian hingga memungkinkan adanya pengamat dalam salah satu tahapnya. Dengan kata lain, kita ada karena alam semesta seperti ini ada, bukan alam semesta seperti ini ada karena kita ada (diinginkan Tuhan). Pada perkembangannya, prinsip ini memiliki sekitar 30 versi hingga sekarang (Stenger, 2009).
Dengan adanya multijagad tingkat 1 dan tingkat 2, tampaknya ahli kosmologi telah cukup menghanguskan argumen penyetelan halus yang bersebab Tuhan. Namun masih ada multijagad tingkat 3 dan tingkat 4.
Referensi
Barrow, J.D., and F. J. Tipler, 1986. The Anthropic Cosmological Principle. Oxford: Clarendon Press
Goncharov, A.S., A. D. Linde, and V. F. Mukhanov, 1987. The Global Structure Of The Inflationary Universe. International Journal of Modern Physics A, 2, 561
Harris, J. W. and Stocker, H. 1998. “Sierpinski Gasket.” §4.11.7 in Handbook of Mathematics and Computational Science. New York: Springer-Verlag, p. 115
Linde, A.D., D. A. Linde, and A. Mezhlumian, 1994. From the big bang theory to the theory of a stationary universe. Physical Review D, 49, 1783
Linde, A., 1994,The Self-Reproducing Inflationary Universe, Scientific American, 271, 32
Linde, A.D. 1990. Particle Physics and Inflationary Cosmology. Switzerland: Harwood.
Salopek, D.S and J. R. Bond, 1991. Stochastic inflation and nonlinear gravity. Physical Review  D, 43, 1005
Smolin, L. 1997. The Life of the Cosmos. Oxford: Oxford Univ. Press
Starobinsky, A.A. 1986, Stochastic de sitter (inflationary) stage in the early universein Current Topics in Field Theory, Quantum Gravity and Strings, Lecture Notes in Physics, vol. 246, ed. H. J. de Vega H J and N. Sanchez, Heidelberg: Springer
Stenger, V. 2009. The Anthropic Principle. In The Encyclopedia of Nonbelief.  Prometheus Books.
Susskind, L. 2003. The Anthropic Landscape of String Theory. hep-th/0302219
Tegmark, M. 1997. On the Dimensionality of Spacetime. Class. Quantum Grav. 14, L69-L75
Vilenkin, A. 1983. The Birth Of Inflationary Universes. Physical Review D, 27, 2848