Bukit-bukit memagari hamparan biru air Danau Ranau. Gunung Seminung yang
puncaknya tertutup sebaris awan berdiri megah di seberang.
Dari
kaki gunung yang menjulur ke danau, air panas mengucur tanpa henti.
Perahu kecil membelah jernih air, lalu berlabuh di tepian. Eduard (45)
lalu menawarkan membawa ke sumber air panas itu.
Eduard, warga
Banding Agung, Kota Batu, Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan,
sama sekali tak mengira, danau indah itu adalah satu dari deretan danau
di Pulau Sumatera yang terbentuk dari letusan dahsyat di masa lalu.
Bahkan, ketika beberapa ikan di danau mati dan air danau menguarkan bau
belerang menyengat. ”Dulu pernah ada ikan mati mendadak,” ungkap Eduard,
pemilik perahu wisata.
Fenomena matinya ikan di Danau Ranau
telah beberapa kali terjadi dalam 50 tahun terakhir. Kejadian itu di
antaranya tahun 1962, 1993, 1995, dan 1998. Terakhir, fenomena ini juga
terjadi pada 4 April 2011.
Dari penelitian Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (2011), kematian ikan itu tidak menyeluruh terjadi
di area danau, tetapi hanya di sekitar keluarnya mata air panas, yakni
di mata air panas Kota Batu, Ujung, dan mata air panas Way Wahid. Pada
saat kejadian, air danau di lokasi matinya ikan biasanya berwarna putih
susu dan berbau gas belerang. Dari hasil penelitian itu, pada sekitar
kejadian ada gempa kecil di garis sesar yang melintang di sepanjang
danau.
Air panas di kaki Seminung dan kematian ikan yang kerap
terjadi merupakan pertanda jejak vulkanik yang masih tersisa di Danau
Ranau.
Danau vulkanik
Sumatera saat ini
lebih banyak menyedot perhatian karena aktivitas tektoniknya berupa
gempa dan tsunami besar yang kerap terjadi. Di masa lalu aktivitas
vulkanik di pulau ini ternyata sangat dahsyat. Jejak kedahsyatan
vulkanik di Sumatera terlihat dalam bentuk danau-danau kaldera raksasa,
salah satunya Danau Ranau seluas 127 kilometer persegi itu.
Letusan
dahsyat Ranau terjadi sekitar 55.000 tahun yang lalu dan menyemburkan
150 kilometer kubik rempah vulkanik. Endapan aliran awan panas dan
material jatuhan setebal ratusan meter menyelimuti area seluas 140
kilometer persegi.
Alessandro Tibaldi dari Departemen Ilmu
Geologi dan Geoteknologi, Universitas Milan-Bicocca, Italia, dalam
Volcanism in Reverse and Strike-Slip Fault Settings (2010) menjelaskan,
evolusi Danau Ranau bermula dari terbentuknya cekungan akibat sesar
pisah tarik (pull-apart fault). Dalam cekungan berukuran 12 km x 16,5 km
ini, gunung api dan panas bumi bermunculan. Proses ini diikuti
perkembangan kaldera- kaldera kecil. Peningkatan aktivitas vulkanik ini
kemudian memperluas kaldera hingga ke bentuk seperti sekarang.
Sekitar
5.000 tahun sebelum letusan Ranau atau 60.000 tahun lalu, Maninjau
Purba di Sumatera Barat juga meletus dahsyat. Letusan ini menyemburkan
220-250 kilometer kubik rempah vulkanik yang tersebar hingga radius 75
kilometer dari pusat letusan.
Gunung api Maninjau yang berkembang
di zona Sesar Besar Sumatera itu diperkirakan tiga kali meletus besar.
Masing- masing letusan membentuk kaldera yang saling menyambung hingga
membentuk Danau Maninjau seperti saat ini.
Jejak letusan dahsyat
Maninjau tersingkap jelas di Ngarai Sianok di dekat kawasan wisata
Bukittinggi, Sumatera Barat. Lembah besar itu diapit tebing terjal
berona cerah hasil aliran awan panas dan endapan material jatuhan
letusan Maninjau Purba. Ketebalan material letusan yang terpotong Batang
Sianok itu mencapai 220 meter.
Endapan material letusan Maninjau
itu diteliti HD Tjia Geolog dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan
Ros Fatihah, peneliti geologi dari Universitas Malaya yang dituangkan
dalam penelitian Blasts from the Past Impacting on Peninsular Malaysia
(2008). Tjia yang pernah mengajar di Institut Teknologi Bandung (ITB)
ini menemukan tiga teras sungai yang menunjukkan terjadinya tiga periode
letusan itu. Teras pertama berada sekitar 16 meter dari dasar sungai.
Teras kedua menjulang hingga 200 meter dan tidak ada pelapisan.
”Tuff
(material endapan letusan) yang sangat tebal itu menunjukkan pernah
terjadi letusan sangat besar yang semburan tepra (fragmen batu apung)
tersebar sangat luas, seperti yang terjadi di Toba,” tulis Tjia.
Di
Sumatera Utara, kita juga menemukan Danau Toba yang merupakan produk
letusan gunung api raksasa (supervolcano) sekitar 74.000 tahun lalu.
Letusan ini merupakan letusan gunung api terkuat yang pernah terjadi di
dunia dalam dua juta tahun terakhir.
Craig A Chesner, geolog dari
Universitas Eastern Illinois menyebutkan, letusan ini telah menciptakan
badai vulkanik sehingga menyebabkan dunia diliputi kegelapan total
selama sekurangnya enam tahun.
Fotosintesis tak terjadi.
Kelaparan mendera. Antropolog Stanley H Ambrose dari University of
Illinois (1998) menyebutkan, nenek moyang manusia modern (homo sapiens)
nyaris punah akibat letusan ini. Periode ini, menurut Ambrose, dikenal
sebagai bottle neck atau kemacetan populasi
Danau tektonik
Selain
danau vulkanik, Sumatera juga memiliki danau-danau yang murni terbentuk
dari aktivitas tektonik, salah satunya Danau Singkarak di Sumatera
Barat. Proses pembentukan Danau Singkarak menjadi obyek penelitian ilmu
kebumian yang sangat menarik. Sejumlah peneliti telah menawarkan
beberapa teori evolusi Singkarak.
Van Bemmelen dalam karya
besarnya Geology of Indonesia (1949) menilai cekungan-cekungan di
sepanjang Sumatera sebagian besar terbentuk akibat proses
vulkano-tektonik. Berdasarkan teori itu, Singkarak merupakan sisa gunung
api raksasa yang meletus dahsyat dan kemudian membentuk danau seiring
dengan pertumbuhan sesar yang memotongnya. Teori vulkano-tektonik juga
disampaikan Bemmelen untuk menjelaskan terbentuknya lima danau di
cekungan Suoh, Lampung.
Namun, teori Bemmelen mengenai
pembentukan Singkarak dan Suoh diluruskan oleh sejumlah geolog yang
melakukan penyelidikan lebih dalam. Geolog senior dari Institut
Teknologi Bandung, MT Zen, menelusuri jejak pembentukan Singkarak pada
Februari-Maret 1970. Hasil penelitian profesor yang gemar mendaki gunung
itu dituangkan dalam jurnal berjudul ”Origin of Singkarak Lake in the
Padang Hinghlands”.
Zen tidak menemukan jejak endapan material
letusan gunung api tua di lembah-lembah di sekitar danau. Bukit-bukit
yang mengelilingi danau juga tidak mencirikan dinding sisa runtuhan
tubuh gunung api akibat letusan kaldera. Dinding kaldera sangat khas
karena tegak, seperti di Danau Maninjau.
Singkarak, menurut Zen,
terbentuk murni akibat proses tektonik dari sesar-sesar yang ada di
sekitarnya. Danau ini merupakan bagian dari cekungan memanjang
Singkarak-Solok yang merupakan salah satu segmen Sesar Besar Sumatera.
Cekungan besar yang memanjang itu kemudian terbendung material letusan
gunung api muda Merapi, Singgalang, dan Tandike di sisi barat laut. Di
sisi tenggara terbendung oleh endapan material letusan Gunung Talang.
”Lembah
panjang Singkarak- Solok merupakan graben (amblesan). Ini bagian dari
sesar Sumatera. Danau Singkarak sendiri terbentuk akibat pembendungan di
kedua ujung lembah oleh material letusan gunung api. Lembah panjang itu
terbentuk sebelum proses vulkanik begitu aktif memuntahkan
materialnya,” tulis Zen.
Kerry Sieh dan Danny Hilman lebih rinci
membahas tentang evolusi Danau Singkarak. Dalam hipotesis mereka yang
dituangkan dalam Neotectonics of The Sumatran Fault (2000), Danau
Singkarak bertambah lebar seiring pergeseran dua sesar yang mengapit
danau. Singkarak diapit dua sesar pisah tarik yang merupakan bagian dari
segmen Sianok dan segmen Sumani yang terpisah sejauh 7,5 kilometer.
Setiap
kali terjadi gempa, terjadi pergeseran sesar yang bervariasi mengikuti
kekuatan gempa. Total pergeseran Singkarak diperkirakan 23 kilometer
hingga terbentuk danau seperti yang ada sekarang ini. Evolusi luas Danau
Singkarak itu berawal dari pergeseran 3 km, kemudian berkembang menjadi
8 km, 13 km, dan sekarang ini 23 km. Danau ini terus tumbuh, menandai
pergeseran yang terus terjadi.
Proses tektonik yang membentuk
Danau Singkarak ini juga terjadi dalam pembentukan danau tektonik lain
di Sumatera, seperti Danau Diatas dan Danau Dibawah (Sumatera Barat)
serta Danau Kerinci di Jambi.
Bagi para geolog, paduan antara
aktivitas tektonik dan vulkanik ini merupakan obyek penelitian yang
menarik dan tiada duanya sebagaimana disebutkan Robert McCaffrey dari
Rensselaer Polytechnic Institute dalam tulisannya ”The Tectonic
Framework of the Sumatran Subduction Zone” (2008). Namun, gerak geologi
Sumatera yang hiperaktif ini juga berarti ancaman besar dan mendorong
kita untuk terus bersiaga.